BEBERAPA KARYA DAMARDJATI SUPADJAR

KARYA-KARYA DAMARDJATI SUPADJAR
REINTERPRETASI ; FILSAFAT ISLAM-JAWA
Muhammad Sunandar Alwi[1]

A. Ulasan Beberapa Karya Damardjati Supadjar

Damardjati Supadjar selalu mengingatkan tentang pentingnya usia yang ia ambil dari ajaran KH. R. Nakman Zaini, seorang guru di Jln Kaliurang Yogyakarta sebagai berikut:

Bahwa kalau seseorang istiqomah, maka pada usia 40 tahun akan selamat dari sakit (gila), lepra dan belang. Pada usia 50 tahun hisabnya menjadi diringankan, pada usia 70 tahun, Malaikat akan senang kepadanya. Pada usia 80 tahun kebajikanya dituliskan, sementara kejelekanya dihapuskan. Akhirnya pada usia 90 tahun akan menjadi boyongan suasana surgawi di bumi-Nya, dihapus dosanya, sekaligus diberi izin memberi safaat bagi para ahlinya.[2]

Kutipan di atas yang sering diajarkan oleh Damardjati Supadjar. Jadi bukan dimaksudkan untuk mengguruinya, tetapi sebagaiaman pelajaran yang pernah didapat. Melihat latar belakang kehidupan, kondisi dunia sekitar, dan berbagai aktivitas di dalam maupun di luar kehidupan Damardjati Supadjar, cukup berpengaruh pada kepribadian, watak, dan pola pikirnya. Hal ini bisa dilihat dari tindakan-tindakannya dan beberapa karya-karya tulisannya. Sebagai seorang filsuf, sebenarnya Damardjati Supadjar sangat produktif. Sepanjang karirnya sebagai filsuf khusunya Jawa ia menulis banyak artikel, esai, makalah, jurnal dan buku. Selain itu ia juga mengisi forum-forum seminar, diskusi, dan ceramah majlis taklim.

Dalam mengulas beberapa karyanya, akan diuraikan terlebih dahulu proses kreatif Damardjati Supadjar. Meski demikian Damardjati Supadjar telah menunjukan eksistensinya sebagai pemikir filsafat. Dilihat dari karya-karya Damardjati Supadjar membawa suasana baru dalam pemikiranya tentang filsafat khususnya Jawa. Namun dalam sejarah kebudayaan manusia memperkenalkan diri sebagai makhluk beragama. Dimensi relegius kita temukan dalam diri kita sendiri. Penghayatan religius termasuk salah satu penghayatan manusiawi yang menjadi bahan refleksi kita. Refleksi ini pun bertujuan untuk memperdalam paham tentang diri manusia. Dalam refleksi penghayatan religius manusia menemukan dirinya terarah pada Tuhan. [3] Inipun juga yang dialami oleh Damardjati Supadjar sebagai seseorang manusia pada umumnya.

Filsafat Damardjati Supadjar yang dikenal dengan filsafat othak-athiknya, merupakan filsafat yang berasal dari olahan kata yang kemudian dibuat sedemikian rupa sehingga mempunyai daya pikat yang kuat untuk meyelaraskan kata dengan maksudnya. Kata-kata tersebut merupakan bagian daripada olahan yang didasarkan pada keadaan zaman untuk manganalisis dan memahamkan suatu pemahaman filsafat. [4] Filsafat tersebut bermula dari keadaan zaman yang dianalisis dan disejajarkan pada pemahaman kejawen yang telah lebih dahulu dirintis oleh pujangga-pujangga Jawa.

Bahwa karya-karyanya lebih mengarah kepada kehidupan sehari-hari dengan ajaran terdahulu yaitu Jawa dengan nuansa Islam, dengan dipahami secara mendalam. Meskipun terminologi Jawa mendominasi alur pemikiranya, ia juga memiliki semangat dan konsep nasionalisme yang tegas. [5] Karena menurutnya hidup itu harus dijalani semestinya bukan secara instan dalam kehidupan, maksudnya harus melalui suatu proses terlebih dahulu. Kekhasnya Damardjati Supadjar menyebabkan filsafatnya tidak pernah hanya memiliki satu arti. Ia memberi kebebasan penuh kepada orang untuk meyimpulkan dan menafsirkannya dalam berfilsafat. Karena berfilsafatnya lebih tersirat daripada tersurat, ia memberikan gambaran dan memberi contoh. Seperti apa suasana yang terjadi pada masyarakat. Unsur-unsur inilah yang membuat karya-karyanya istimewa. Dan membawa suasana baru dalam berfilsafat khusunya filsafat Jawa maupun Islam.

Untuk menggambarkan bahwa apa pun yang ia lakukan dan bicarakan memiliki makna yang dalam. Untuk memahaminya diperlukan kearifan dan kecerdasan tersendiri. Ia pandai menempatkan kata atau kalimat serta mampu memilih tema yang tepat dalam bertutur kata. Bahwa filsafatnya unik, orisinil, berani melontarkan ktrik terhadap kekuasaan dan yang jelas lucu. Yang sering diangkat ialah seputar masalah tasawuf, terutama perihal kemampuan ilmu ladduni.[6] Dalam analisisnya tidak melakukan alih bahasa atau terjemahan dari Jawa ke bahasa Indonesia, melainkan analisis menarik kesimpulan dan menginterpretasi langsung apa yang tercamtum didalamnya. [7]

B. Reinterpretasi ; Filsafat Islam-Jawa

Dilihat dari berbagai tulisannya pemikirin Damardjati Supadjar telah memberi warna baru, tentang berbagai persoalan fundamental filsafat, terutama dalam merevalitasi pemikiran filsafat Jawa yang dikaitkan dengan Islam. Dari ungkapanya itu kita mendapatkan petunjuk tentang integrasi akal dan kalbu, cipta karsa. Tema-tema inilah salah satu dari tema filsafat yang popular bagi mereka yang ingin mempelajarinya.

1. Nawangsari

Buku yang berjudul Nawangsari adalah kumpulan ceramah diberbagai forum seminar, diskusi ataupun majlis taklim keagaman, yang disusun dengan sistematika untuk memudahkan pemahaman. Buku Nawangsari yang diterbitkan oleh Media Widya Mandala pada tahun 1993. Nawangsari artinya menjaring dan menyaring segala pandangan penulis sampai kepada sari-sari ensensi, yaitu hal-hal hakiki, yang sedalam dalamnya, dan selanjut-lanjutnya. Pengalaman menerawang menembus ruang dan waktu, menggapai esensi, yaitu hal-hal hakiki, yang sedalam-dalamnya, selanjut-lanjutnya. Yang demikian itu masih berproses pada diri Damardjati Supadjar, sampai kini bahkan sampai nanti. Mencakup dimensi spasial (lahir-batin) dan temporal (awal-akhir). [8]

Dalam buku nawangsari terdiri dari V Bab, sebagai berikut: Bab I ketuhanan atau Agama; Bab II Kebudayaan; Bab III Kepemudaan dan Kewanitaan; Bab IV Budaya Jawa; Bab V Pembangunan Nasional. Buku terbitan media widya mandala Yogyakarta dan cetakan pertama oleh Restu Prima Grafika pada tahun Februari 1993. Judul buku ini, yakni nawangsari, secara penuh Damardjati Supadjar menghayati ketika di depan forum studi dalam rangka Summer Camp KID (Keluarga Islam Delf) tahun 1987 di Aachen Jerman, Damardjati Supadjar menguraikan topik bahasan masalah-masalah Ketuhanan, yaitu sebagaimana yang menjadi bab pertama dari buku ini. Salah satu pemacu yang mendorong diterbitkan buku ini ialah tesis Bilalian (kaum bilal) yang menjadi salah satu faktor penentu Islamya Mike Tyson: "Badanku di sini tapi hatiku di ka'bah". Mike Tayson yang nama muslimnya Mikael Abdul Aziz lalu berkata: "Kemenanganku paling gemilang adalah saat aku sujud kepada-Nya". Demikianlah menurut majalah Amanah nomor 169, bagi Damardjati Supadjar merupakan hadiah tahun baru 1993, yakni tahun diterbitkan buku Nawangsari. [9]

Menurut Damardjati Supadjar filsafat adalah kecintaan terhadap kebijaksanaan. Di analogikan seperti kecenderungan gerak heliotropsisnya tumbuh-tumbuhan disaat siang hari, di bawah bimbingan cahaya matahari, seperti berkembang atau mekarnya bunga-bunga di malam hari, dibawah bimbingan cahaya bulan.[10] Bahwa filsafat itu kecenderungan manusiawi untuk mencapai yang imanen dan yang transenden. Pandangan Jawa adalah sari pati perjalan hidup orang Jawa sepanjang masa, sehingga orang Jawa menjadi Jawa. Jadi identitas Ke-Jawa-an tadi adalah hasil suatu proses yang panjang. Melalui seleksi kualitatif, seperti becik ketitik ala ketara yang berhubungan dengan nilai-nilai kehidupan.

Kesemuanya itu dapat ditemukan dalam berbagai wulang-wulang kejawen, yaitu berbagai kepustakaan Jawa yang berisi ajaran tentang kearifan hidup menurut orang Jawa. Sampai saat sekarang masih menjadi bahan bacaan, walaupun identitasnya kejawaan tersebut masih terus menerus ikut berproses. [11] Ajaran tersebut juga terungkap dalam tata bangunan, tata kota, adat istiadat, berbagai upacara, kesenian terutama wayang kulit, sopan santun, tata bangsa, pemberian nama dan sebagainya. Pokok-pokok filsafat Jawa atau pandangan, sikap dan cara hidup Jawa itu tercermin dalam kata-kata kunciwulang-wulang kejawen. Berdasarkan Paugeraning Dumadi (Pandam-Pandom-Panduming-Dumadi) serta Sangkan-Paraning-Dumadi.

Pandangan Jawa mengisyaratkan suatu filsafat proses, yaitu Tuhan sebagai Pandoming Dumadi, demikian pula dalam hal kosmologis, alam semesta ini sebagai Pandoming Dumadi. Sedangkan mengenai masalah-masalah kemanusian atas kearifan terungkap melalui kata-kata Pandoming Dumadi. Formulasi sistematik dari filsafat proses yang organis dapat dipelajari melalui pokok pelajaran, yaitu: wasikin ananing dat, wedharan wahaning dat, serta gelaran kahaning dat . Uraian ini menjadi tingkat metafisika umum atau ontologi yang memerlukan woding tembung, yaitu kata-kata satu kata, yang nama, wujud serta rasanya masih satu dan sama. [12]

Seperti kata-kata Kawula-Gusti termasuk kata kunci wulang-wulang kejawen atau ajaran kearifan hidup orang Jawa. Artinya mencakup berbagai bidang, ketuhanan, kemanusiaan (individual serta sosial). Ada yang melengkapi dengan tambahan kata Pamor menjadi Pamoring Kawula-Gusti, atau kata Awor menjadi Aworing Kawula-Gusti. Di dalam karyanya pujangga Ranggawarsita yang berjudul Pamoring Kawula-Gusti yang menitik beratkan tekanannya mengenai hamba dengan Tuhan. Bahwa hal itu meminta kesungguhanya dalam menjalankan laku selama hidup. [13]

2. Filsafat Sosial Serat Sastra Gendhing


Buku yang berjudul Sastra Gendhing sebagai karya kelanjutan dari Nawangsari merupakan hasil dari tesisnya, dia mencoba menafsirkan Filsafat Sosial Serat Sastra Gendhing. Dalam buku tersebut ia membahas bagaimana masyarakat Jawa berinteraksi dengan sesama sebagai makhluk sosial seperti yang diharapkan oleh Sultan Agung sebagai raja Mataram. Buku Filsfat Sosial Sastra Gendhing yang berjumlah 217 halaman adalah terbitan Fajar Pustaka Baru tahun 2001.

Kitab Sastra Gendhing adalah Salah satu peninggalan intelektual Sultan Agung. Istilah sastra dan gendhing di samping keduanya mewakili serangkaian pengertian tertentu, apabila diteliti lebih lanjut dimasukkan Kejawen dalam masalah kefilsafatan sosial, artinya bertitik tolak dari suatu fakta, yakni berebut unggul, ditariklah suatu penafsiran yang lebih umum. Juga sudah disebutkan bahwa latar belakang permasalahan tersebut, tidak lain adalah akulturasi kebudayaan antara kebudayaan Islam yang sedang berkembang dengan kebudayaan Jawa Hindu yang sudah lebih lama melembaga. [14]

Dalam buku tersebut Damardjati Supadjar mencoba melakukan perbandingan dengan filsafat Pancasila sehingga akan tercapai sebuah filsafat sosial Jawa yang lebih baik. Dimana filsafat itu akan lebih mampu untuk memahami masyarakat Jawa.[15] Segala sesuatu yang ada didunia ini merupakan suatu proses yang saling berkaitan dengan dunia aktual seperti: kemarin, besok, yang telah lalu, yang akan datang, atau akan terjadi, merupakan serangkain proses totalitas mengarah kepada proses kejadian waktu. [16]

Jelasnya problem-problem tersebut berhubungan dengan satu dengan yang lain. Dari fakta kultural, yakni permasalahan di antara dua pihak lembaga sosial, yang satu mendukung nilai-nilai "baru" sedang yang lainnya mendukung nilai-nilai "lama". Dilihat dari sudut filsafat sosial, didalam permasalahan seperti itu, hakikatnya masing-masing pihak menganggap pihaknya sebagai suatu subjek sementara pihak lawannya dipandang sebagai objek. Dikembalikan kepada pokok yang lebih asasi lagi, masalah tersebut tidak lain adalah masalah hubungan antara Aku-Engkau. [17]

Banyak kalangan yang mengatakan bahwa Sastra Gendhing merupakan buah karya Sultan Agung yang berisi berbagai pemikiran beliau baik dalam soal politik maupun spiritual dengan banyak menggunakan simbol Gendhing dan keindahan-keindahannya. Namun pendapat mayoritas yang berkembang adalah bahwa para ahli banyak menganggap Sastra Gendhing sebagai karya Sultan Agung walaupun secara tidak langsung. Dikatakan sebagai hasil karya tidak langsung karena pokok-pokok ajaran yang terkandung di dalamnya adalah hasil ciptaan Sultan Agung, sedangkan perwujudannya menjadi karya tulis dilakukan oleh seorang Pujangga pada masa itu. [18] Sebagian lain mengatakan bahwa penulis Sastra Gendhing adalah Abdi Dalem. [19] Pujangga pada masa Mataram juga merupakan seorang Abdi Dalem. Adapun pada masa itu Abdi Dalem yang memiliki tugas semacam itu disebut Kawi-Swara. [20]

Pada masa itu, pencantuman nama penulis pada suatu karya tulis memang belum menjadi suatu kebiasaan. Bukan karena tiadanya rasa pertanggung jawaban, akan tetapi hal itu justru untuk menunjukkan sikap tidak menonjolkan diri, suatu hal yang setidak-tidaknya pencantuman nama pada masa itu belum merupakan suatu kepentingan. Tidak adanya pencantuman nama penulis juga dapat dimengerti berdasarkan alasan yang lebih mendalam, yang berhubungan dengan sikap ajaran tertentu. Adapun sebuah karya sastra atau tulis disertai dengan nama penulis atau penciptanya baru terjadi pada masa pujangga Ranggawarsita, meskipun pencantuman tersebut masih tersembunyi dalam bentuk Sandi Asma. [21] Dengan demikian pujangga sedikit dikenal pada masa Sultan Agung. Adapun pujangga kraton dan karya tulisnya yang dikenal pada masa ini hanyalah Sultan Agung dengan karya Sastranya yang sangat terkenal, yaitu Serat Sastra Ghending, disamping juga menulis karya-karya terkenal lain seperti Surya Alam. [22]

Adapun dalam penulisan Serat Sastra Ghending, serat tersebut dimulai dengan pupuh Sinom, kemudian Asmarandana, Dandanggula, Pangkur dan diakhiri dengan pupuh Durma. Sebagai permulaan Sastra Gendhing adalah tembang Sinom, yang menunjukkan bahwa isinya berhubungan dengan masa pertumbuhan, masa pembinaan, baik untuk pribadi maupun untuk pemerintahan Sultan Agung. Hal ini dapat diketahui dari latar belakang sejarah, yaitu kebudayaan Hindu masih belum hilang bekas-bekasnya. Watak Sinom bercorak kemudaan, seperti bunga yang mulai berkembang.

Sebagai hasil dari analisa kefilsafatan seperti itu, sampailah Sultan Agung kepada suatu kesimpulan bahwa "lembaga pemerintahan" tidak dapat dipertahankan dan dilestarikan semata-mata kepada hubungan darah, melainkan yang lebih penting dari itu ialah atribut keahlian. Alim-ulama dan sarjana menduduki status sosial yang terhormat. Suatu pendapat yang tidak saja progresif kan tetapi juga masih penting dan besar nilainya untuk masa sekarang. Pemecahan problem sosial, sesuai dengan dasar yang terkandung di dalam Serat Sastra Gending. [23]

Menurut Damardjati Supadjar dalam Serat Sastra Ghending. Setinggi-tinggi gambaran kebulatan kepribadianya ada dalam kebudayaan kita ialah gambaran seorang dalang terhadap unsur kepribadiannya wayang . Akan tetapi pada umumnya kita masih mengidentifikasikan diri kita ke-akuan kepada salah satu tokoh wayang. Pertanyaan "siapakah"Semar adalah kurang tepat. Lebih tepat menanyakan "apakah" Semar. Orang yang masih bisa Nanding Sarira akan menemukan perbedaan yang semu disertai kebanggan atau rasa iri yang keliru. Tingkatan yang lebih maju dalam usaha pengenalan kepribadian ialah Tepa Sarira. Di dalamnya kita dapati kesamaan sifat-sifat. Tingkatan yang tertinggi, yakni Mulat Sarira, memerlukan syarat pengorbanan yakni, matinya ego. Tiadanya "garis" bagi "bidang", tiadanya "bidang bagi "benda-tiga dimensi" dan "tiadanya segala sesuatu" dilihat dari "ukuran keempat". Kemuksaan Wisanggeni, sebagai syarat kejayaan Pendawa dalam Baratayuda. [24]

Sastra Ghending merupakan karya ilmiah yang mengandung simbol dan alegoris filosofis yang kedalamannya menunjukkan ketajaman analisis Sultan Agung dalam memberikan ajaran dasar moral sebagai panduan kehidupan agar manusia senantiasa bertafakur dalam ayat-ayat kauniyah Tuhan, sekaligus mengajarkan dzikir kepada Allah Yang Maha Bijak. Sastra Ghending memiliki banyak arti, diantaranya Sastra bermakna Tuhan, sedang Ghending bermakna makhluk ciptaan. Sastra bermakna batiniah, sedangkan gendhing bermakna lahiriyah. Sastra adalah tasawuf dan ghending adalah syariat. Sastra adalah Dzat Allah dan gendhing adalah makhluk yang nyata. Sastra bermakna Cipta mencipta idea dan ghending bermakna ripta, karangan. [25]

3. Filsafat Ketuhanan Menurut Alfred North Whitehead

Buku yang berjudul filsafat ketuhanan menurut Alfred North Whitehead adalah sebuah disertasi yang ia tulis tentang pemikiran ketuhanan dalam filsafat proses Whitehead tahun 1990 dan dibukukan pada tahun 2000 terbitan Fajar Pustaka Baru Yogyakarta, setelah 10 tahun ia tulis yang lalu. Tampak ada warna baru dalam kajian pemikiran Damardjati Supadjar dari hanya filsafat etika Jawa kepada kajian filsafat proses. [26] Istilah lain filsafat organis adalah filsafat proses yang ditulis kedalam spiritualitas dalam pemikiran Alfred North Whitehead tahun 2010. Dan konsep kefilsafatan tentang Tuhan menurut Whitehead jurnal filsafat tahun 1990, "Process Philosopy" report 1990 dan sebuah pengantar dalam filsafat proses oleh Sudarminta.[27]

Terkait dengan ketuhanan, bagi Damardjati Supadjar filsafat organisme Whitehead mengandung implikasi bagi penguatan religiusitas dan doktrin teologis agama. Menolak doktrinan ateis, Tuhan justru dipahamai sebagai entitas yang sangat dekat, yang hadir bersama seluruh kejadian, bersifat imanen terhadap dunia, transenden terhadap peristiwa-peristiwa temporal. Filsafat organisme juga dipahami sebagai filsafat organisme Tuhan yang terinterpretasikan melalui dunia organis dan aktual. [28] Manusia juga lebih dipahami sebagai bayangan Tuhan yang pramodial, tetapi kreatif dan selalu aktual dalam setiap peristiwa kejadian. Filsafat organisme juga mendukung agama dan sifat spiritualisnya, sehingga menjadikan manusia lebih sadar terhadap realitas batiniah, terutama Tuhan. [29]

Damardjati Supadjar membahasakan dengan bahasa yang Islamis, bahwa realitas itu struktural mencakup rentangan lahir-batin, sedangkan secara fungsional mencakup rentangan awal-akhir. Dua kata yang diserapkan dari bahasa Arab. Kedua istilah tersebut dia padankan dengan bahasa Jawa dengan istilah Babar, Babaran, Gelar, Gumelar untuk menunjukan realitas lahir dan Golong, Gumolong untuk munjukan realitas batin. [30] Pegetahuan lahiriah berarti mencakup realitas yang Gumelar sedangkan hal-hal terkait spritualitas itu terkait realitas batiniah yang Gumeleng.

Filsafat organisme atau filsafat proses memandang semesta segala ini sebagai suatu kesatuan organis. Yang hidup bersama dan bekerjasama yang mendapatkan kenyataan realitas itu berstruktur dan berproses. Mengenai yang struktural itu terdapat rentangan lahir dan batin. Sedangkan yang fungsional atau proses dikenal skala awal dan akhir. Bagi pandangan hidup Jawa atau filsafat Jawa yang struktural itu dikemas dengan ajaran Pamoring Kawula Gusti. Sedangkan yang fungsional itu Sangkan Paraning Dumadi. Mengenai ajaran Sangkan Paraning Dumadi yakni proses kosmologis pada umumnya. Filsafat organisme mengajukan pertanyaan pokok, apakah proses itu mengenai The Becoming of Continuity ataukahThe Countibuity of Becoming (Whitehead). [31]

Bahwa Damardjati Supadjar berpandangan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai suatu pernyataan. Maka kebenaran, keindahan dan kebaikan-Nya tentunya tanpa batas. Tuhan itu menyatakan dua cara, yakni dengan berbagai tamsil objektif, yaitu ayat-ayat Qauniyah (epifani) dan secara pribadi bagi pribadi-pribadi pilihan yang paskah muthmainah terdaftar-diakui-pribadi yakni teofani.

Ajaran pamoring kawula-gusti itu paling banyak disalah pahami orang. Kawula itu tidak sama dengan gusti. Bahwa perumpamaan kawula itu lambang pamoring kawula gusti dirasa kurang tepat, baik emas ataupun tembaga, serta swasa sekalipun, itu semuanya adalah kawula. Sedang yang melambangkan gusti adalah api yang meluluhkan logam tadi.

Suatu aliran kefilsafatan yang merangkum yang lainnya adalah filsafat organisme yang memandang semesta segala itu sebagai kesatuan organis yang integral, yang juga dikenal sebagai filsafat proses. Bahwa aliran ini memandang semesta segala itu sebagai berstruktur lahir-batin serta berproses awal-akhir. Damardjati Supadjar menggunakan filsafat Proses atau organis Whitehead bahwa sesuatu melalui suatu proses lahir-batin.

4. Mawas Diri

Pada mulanya hanyalah sebuah esai-esai Damardjati Supadjar yang dikumpulkan sejak tahun 1996 dengan pertimbangan kemanfaatan yang lebih luas. Baru di bukukanya kurang lebih bulan Maret 1999 dengan sedikit demi sedikit mulai dikerjakan. Hanya saja dalam perjalananya muncul sejumlah kendala yang membuat proses penyuntingan tersebut agak macet dan terlantar untuk kesekian waktu. Bulan Februari 2001 tergerak kembali untuk dikerjakan lagi dalam satu bulan pengerjaan dan penyuntingan yang dilakukan. Benar-benar selesai pada akhir bulan Juli 2001 dan diterbitkanlah buku Mawas Diri (Dari "Diri" yang Tinggal, ke Diri yang "Terdaftar, Diakui, Disamakan" yakni Diri yang Terus Terang dan Terang Terus) .

Istilah Mawas Diri itu sudah sangat popular dikalangan masyarakat luas, terutama masyarakat Jawa, dengan istilah Mulat Sarira. [32] Istilah ini secara resmi tercantum dalam Tri Dharma Mangkunegaran seperti dibawah ini:

Rumongsa melu anderbeni
Wajib melu angrungkebi
Mulat sarira Hangrasa Wani [33]

Bahwa karya Mawas Diri, dari Diri yang tanggal (sebagai duri menggangu di jalan umum) sampai dengan Diri yang Mandireng Pribadi (seperti pohon Mandira atau lambang Pohon Imam, yang bercabang 77), itu semuanya semula adalah rangkain tulisan di suatu rubik tetap. Dua minggu sekali yang atas prakarsa beberapa orang yang dikumpulkan kembali, dihimpun, disunting, sehingga menjadi sebuah karya kesemuanya itu sebagai hasil kerja bersama.

Karya Mawas Diri yang di awali dengan suatu refensi Jangka-jangkah Natanagara (hal menata negara). Agar orang tetap tahu diri perihal ambang batas antara Makhluq yang terbatas dan Khaliq yang tak terbatas. Yakni ketika kepada negara pada saat itu bermaksud menggelar lakon Semar mBabar Jati Diri. Itulah momentum Pra Reformasi, sebagai bagian I yang mencakup pokok-pokok bahasan A. Istiqomah (1-10), B. Gara-gara (11-20), C. Satriya Pinandhita (21-30), D. Panggung Sangga-Buwana (Panggung "Pan-Theon") (31-40), yang memuncak pada E. Sumpah Rakyat (41-50), sehari sebelum lengsernya pak Soeharto.

Berikutnya ialah era-Reformasi bukan hanya Mulat Sarira-Satunggal, melainkan bahkan Mulat Sari-Rasa-Tunggal, demi Diri yang terdaftar, diakui, bahkan disamakan, yakni Diri Yang Terus Terang dan Terang Terus. Matahari saja terus terang dan terang terus apalagi "Sang Yang MANON" yang memata-abadi, "Cahaya Maha Cahaya". Pada akhirnya dipersilahkan untuk bersama-sama untuk mawas diri.

Ketika seorang mengobservasi diri sekaligus mengintropeksi diri, bahwa serentetan peristiwa bermunculan dalam ingatan satu sama lain dan silih berganti. Hal itu merupakan catatan kesadaran yang berada pada alam bawah sadar baik yang menggembirakan atau menyedihkan. Pengenalan diri yang sesungguhnya justru ketika seseorang mengalami suatu kenyataan Sesunggunya tidak ada apa-apa, kecuali tentu saja seseorang yang membuat pernyataan tanpa kata, sebab kalau masih ada dengan kata, menjadi ada kata itulah keseimbangan kosmis. Dalam terminologi Jawa disebut sebagai Ingkan Jume-neng, baik dalam arti yang berdiri sendiri maupun dalam arti yang diliputi Jeneng yakni nama tentunya dalam arti di bawah lindungan payung nama-Nya. [34]

Karya buku Damardjati Supadjar yang berjudul " Mawas Diri"Dari Diri" yang Tanggal, ke Diri yang "Terdaftar, Diakui, Disamakan" yakni Diri yang Terus Terang dan Terang Terus adalah kumpulan kolom Damardjati Supadjar yang sangat humor tanpa mengurangi substansi. Ia mengajak kita untuk melakukan retropeksi total, baik diri kita sebagai individu maupun sebagai kesatuan kolektif.
Dalam retropeksi mungkin muncul ironi seperti yang ia tulis "orang inggris misalnya, setelah tekun membaca capung, menemukan pesawat terbang tipe capung". Disebuah titik retropeksi, kita harus berani menertawakan diri sendiri. Karya mawas diri berfungsi untuk intropeksi mendalam atas kesegalaan, termasuk mungkin hal- hal kecil pada hal prinsip. Kemudian dikontemplasikan adalah dianggap sebagai sesuatau yang biasa kalau orang mengemukakan terminologi keseharian, dalam hal ini istilah. [35]

Mawas diri ini berfungsi introfeksi mendalam atas kesegalaan, termasuk mungkin hal-hal kecil pada hal prinsip. Kini ingin dikontemplasikan adalah dianggap sebagai sesuatu yang biasa kalau orang mengemukakan terminologi keseharian, dalam hal lahir ini istilah lahir. Berkali-kali penulis melihatkan untuk tidak lupa Tumungkul Amari Kelu, penuh devosi (seperti buah padi penuh berisi) terhadap terhadap pernyataan Tuhan sebagai tamsil yakni ayat-ayat kauniyah. [36]

5. Wulang Wuruk Jawa; Mutiara Kearifan Lokal

Buku yang berjudul Wulang Wuruk Jawa: Mutiara Kearifan Lokal yang diterbitkan di Yogyakarta oleh Dammar-Jati tahun 2005. Merupakan kumpulan rubik tetap seminggu sekali yang semula disajikan pada mingguan pagi yaitu minggu pagi. Ia mengupas tentang konsep ketuhanan Yang Maha Esa. Ia mengatakan kalau saja Ketuhanan Yang Maha Esa bait-Nya, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu lahir-Nya. [37] Permasalahan-permasalahan yang sedang di hadapi Indonesia adalah telah terjadi kemorosatan-kemorosatan budaya khusunya kemorosatan moral yang telah mengakibatkan ketidakadilan di negeri ini.

Seperti dalam kalimatnya kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, serta wong wadon ilang wirangi, dan wong lanang ilang kawibawane. Keadaan tersebut mengambarkan keadaan dimana kearifan mutiara lokal yang dulu digunakan sebagai pegangan hidup telah mulai ditinggalkan. [38]
Menurut Damardjati Supadjar dalam relasi subjek yang baik ada 3 hal penting secara gradual yakni: 1. Kedewasaan individual; 2. Kedewasaan sosial; 3. Kedewasaan spiritual.[39] Orang dianggap dewasa secara individual dengan ditandai oleh kematangan jasmani, kesiapan untuk berkembang biak, mengetahui aturan bergerak dan bermain dalam kehidupan, kematangan jiwa, berani mengambil alternatif, penegasan kemandirian sebagai subjek yang otonom, tanpa menggangu keselarasan pikiranya. Sementara itu, orang dianggap dewasa secara sosial, sebagai tingakatan kedua, ditandai dengan akulturasi potensi dialogis dalam diri, tanggung jawab. Dan yang lebih tinggi kedewasaan spiritual dalam diri seseorang ditandai dengan kemampuan meresapi tali wangsul (peningkatan diri sendiri).

Dalam espistemologi Jawa,wulang-wuruk Jawa bahwa kejawen menjadi prinsip penting yang berkadar Unfied, yang bukan hanya menyentuh kebenaran objektif, melainkan juga melampauinya, bahkan hanya menjadikan kebenaran kebaikan dan keindahan berpadu menjadi satu sehingga memprentasikan tidak saja kenyataan tapi juga kebenaran (kasunyatan) prinsip tersebut diantaranya, Sangkan Paraning Dumadi. [40]

Lebih tinggi adalah kedewasaan spiritual dalam diri orang, yang ditandai dengan kemampuan meresapi Tali Wangsul atau pengingkaran diri dan prinsip-prinsip kehidupan seperti:
Lenging cipta wis gumeleng, mulat sarira satunggal, berbudi bawa laksana, satria panandhita, amurwa-kala, mulih mula mulanira, eling: sangkan paraning dumadi, mangastuti (hamemayu hayuning rat), ngesthi pribadhi, urip woring gaib dan seterusnya. [41]

Perkataan Sangkan Paraning Dumadi yang berarti pangkal atau asal mula dan arah tuju semua kejadian, menggambarkan suatau filsafat proses kesinambungan awal-akhir, bagaimana atau darimana permulaanya, demikian pula kesudahanya. Sebagaimana yang terungkap dalam kata-kata lamaguru bakal dan guru dadi. Proses dumadi di situ tidak lain adalah akulturasi potensi. Dibalik proses itu dapat pernyataan-Nya yang terungkap melalui kejadian-kejadian, sehingga setiap kejadian sesungguhnya mengambil peran serta di dalam proses akulturasi potensi tersebut. [42]


6. Sumurupa Byar-e; Meyingkap Rahasia Awal Akhir Lahir Batin

Sumurupa Byar-e: Meyingkap Rahasia Awal Akhir Lahir Batin terbitan Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM tahun 2010. Buku setebal 101 halaman ini, merupakan kumpulan tulisan Darmardjati Supadjar dalam berbagai kegiatan seminar, diskusi, ceramah dan dalam rangka kegiatan syukuran 70 tahun Prof. Dr. Damardjati Supadjar. Buku ini memuat berbagai pemikiran Damardjati Supadjar, ini tentang memuat isu-isu fundamental terkait maslah ketuhanan dan keagamaan, filosofi dan ideologi pancasila, serta masalah-masalah aktual lain seperti pendidikan dan kebudayaan. Bagian dari hasil pemikiran Damardjati Supadjar tentang kehidupan hingga melihat kondisi bangsa saat ini. Ia menuangkan gagasan ide revolusi spiritual, revolusi tanpa huru-hara dan berdarah-darah.

Damardjati Supadjar menjelaskan tentang pandangan hidup orang Jawa tentang kehidupan. Setiap manusia khusunya orang Jawa harus melalui prosesmijil (lahir), lalu sinom perdopo (untuk wanita) dan maskumambang untuk pria luluh menyatu pada dono-asmoro atau asmorodono (jatuh cinta) dengan pasangannya. Lalu meningkat lagi ke dhandhanggulo. Proses ini kita bisa membedakan mana gula dan mana manisnya, laku thawaf (anti gerakan jarum jam). Lewatdurma, pangkur, gambuh sebelum dipocong atau megat-ruh yakni meninggal dunia. Sebelum meninggal dunia puncaknya pada status khinanti (kadang Dewa, khanti suksma) sebagai Nafsu Mutmaimah [43].

Kesemuanya itu agar orang mengenal Kakangne Barep, Adhine Wuragil. Kakaknya sulung itu ternyata Byar, kalau kita tidak kebyaran, malah kita mujur ngalor, dan adiknya si bungsu itu Surup atau Sumurup. Maka istilah yang lebih normatif dalam prosesi mengantarkan mujur layon itu bukanya Tlusupan atau Brobosan, melainkan upacara SUMURUP/SUMURUPA. [44] Yang intinya sebelum meninggal dunia. Ia menerangkan, semasa hidup, setiap orang harus bermanfaat dan mengisi hidupnya dengan berbagai hal yang baik-baik. Sejak dini harus mengenal dan saling menyayangi dengan saudaranya. Dari pada mengenal saudaranya setelah ia sudah tiada.

Bahwa asumsi realitas adalah integral dan terpadu mengimpikasikan bahwa ada hubungan hierarkis antara pandangan hidup manusia Jawa. Yaitu organisme pada skala lokal, dengan pada pandangan filsafat organisme Whitehead pada skala global. Pandangan organis adalah pandangan integral yang mengangsumsikan adanya keterkaitan dengan satu sama lain dari seluruh dimensi realitas, antara entitas yang satu dengan yang lain antara bagian dengan keseluruhan.[45] Ia memaparkan dalam perspektif filsafat organisme atau filsafat proses yang memandang semesta, berstruktural (Lahir-Batin) dan berproses (awal-akhir).

Dalam pandangan Damardjati Supadjar tentang filsafat gotong-royong yakni satu untuk semua; semua untuk satu; semua untuk semua. Yang pada skala globalnya tidak lain adalah filasafat organisme, yang memandang semesta segala itu sebagai berstruktur lahir-batin serta berproses awal-akhir. Dalam struktur Filsafat Jawa mengemasnya lengkap berupa ajaran Pamoring Kawula-Gusti, sementara yang mengenai prosesnya, Sangkan Paraning Dumadi. [46]


[1] Lulusan Sejarah & Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Damardjati Supadjar,Universitas Jagad Raya Fakultas Kehidupan-Jurusan Luru s (Jakarta: GAIA Books, 2005), hlm. 10-11. Lihat juga Heri Santoso, Berfilsafat Ala Prof. Dr. Damardjati Supadjar (Yogyakarta: Pustaka Resmedia, 2010), hlm. iii.
[3] Adelbert Snijders, OFM Cap, Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan (Yogyakarta: Kanisius), hlm.143.
[4] Muhammad Fauzan, "Pandangan Kejawen tentang Tuhan menurut Damardjati Supadjar", (Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 25.
[5] Rizal Muntasyir, "Damardjati Supadjar: Sebuah Ikon di Fakultas Filsafat UGM", dalam Universitas Jagad Raya Fakultas Kehidupan-Jurusan Lurus (Jakarta: GAIA Books, 2005), hlm. 169.
[6] [6] Ladduni adalah Ilmu Ma'rifat (hakikat), yaitu ilmu tentang sesuatu yang ghaib melalui jalan kasyf (wahyu ilham / terbukanya tabir ghaib) atau ru'ya (mimpi) yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya yang mukmin dan shalih. Ilmu kasyf inilah yang dimaksud dan dikenal dengan julukan "ilmu laduni" di kalangan ahli tasawuf.
[7] Rizal Muntasyir, Universitas Jagad Raya, hlm. 163.
[8] Supadjar, Nawangsari, hlm. v.
[9] Supadjar, Nawangsari, hlm. vi.
[10] Ibid., hlm. 200.
[11] Ibid., hlm. 202.
[12] Ibid., hlm. 210.
[13] Ibid., hlm. 213.
[14] Purwadi, Filsafat Jawa dan Kearifan Lokal (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), hlm. 163.
[15] Muhammad Fauzan, "Pandangan Kejawen tentang Tuhan menurut Damardjati Supadjar", (Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 27.
[16] Damardjati Supadjar,Filsafat Ketuhanan Menurut Alfred North Whitehead (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003), hlm. 21.
[17] Purwadi, Filsafat Jawa dan Budaya Lokal, hlm. 164.
[18] Damardjati Supadjar, Filsafat Sosial Serat Sastra Ghending (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm. 14.
[19] Abdi dalem adalah merupakan orang yang mengabdikan dirinya kepada keraton dan raja dengan segala aturan yang ada. Abdi dalem berasal dari kata "abdi" yang merupakan kata dasar dari mengabdi dan "dalem" yang artinya internal.
[20] Kawi Swara adalah Abdi Dalem
[21] Sandi Asma adalah nama yang dirahasiakan dalam kata-kata atau kalimat lagu; nama diri yang disamarkan dalam karangan.
[22] Supadjar, Filsafat Sosial Serat Sastra Gending, hlm. 116.
[23] Purwadi, Filsafat Jawa dan Kearifan Lokal, hlm. 164.
[24] Ibid. , hlm. 164-165.
[25] Moh Fatkhan, Sastra Gendhing sebagai Konsep Pemikiran dan Paham Keagamaan Sultan Agung dalam Pergumulan Islam dan tradisi (1613-1645), dalam Jurnal Esensia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2004), hlm. 77.
[26] Moch Taufiq Ridho, (dkk), "Integrasi Agama dan Sains dalam Epistemologi Jawa Damardjati Supadjar" (Relevensinya bagi Pengembangan Pesantren) dalam Jurna Rasail Vol III, No 1, Januari-Juni 2016, hlm. 19.
[27] Ibid., hlm. 20.
[28] Ibid., hlm . 21.
[29] Supadjar, Filsafat Ketuhanan, hlm. 165.
[30] Supadjar, "Spritualisme dalam Pemikiran Whitehead", (Paper), 2010, hlm. 1.
[31] Supadjar, Sumurupa Byar-e, hlm. 67-68.
[32] Mulat Sarira adalah berani merasa diri sendiri
[33] Supadjar, Mawas Diri, hlm. xi.
[34] Supadjar, Mawas Diri hlm. 324.
[35] Ibid., hlm.353.
[36] Ibid., hlm. 354-.355
[37] Muhammad Fauzan, "Pandangan Kejawen tentang Tuhan menurut Damardjati Supadjar", (Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 27.
[38] Suapdjar, Wulang Wuruk Jawa, hlm. 14.
[39] Supadjar, Kata-kata Kunci Wulang Kejawen, hlm. 7-8.
[40] Moch Taufiq Ridho, (dkk), "Integrasi Agama dan Sains dalam Epistemologi Jawa Damardjati Supadjar" (Relevensinya bagi Pengembangan Pesantren) dalam Jurnal Rasail Vol III, No 1, Januari-Juni 2016, hlm. 28.
[41] Prinsip-prinsip yang lain banyak diuraikan oleh Damardjati dalam tulisan di media lokal di mingguan minggu pagi, yang kemudian dibukukan menjadi Wulang Wuruk Jawa: Mutiara Kearifan Lokal tahun 2005.
[42] Supadjar,Budaya Spiritual Pada Masa Lalu, Kini dan Yang Akan , hlm. 1.
[43] QS 89: 27-30
[44] Damardjati Supadjar, Udheng Mudheng: Keselarasan Cipta, Rasa, dan Karsa, Teks Pidato Orasi Budaya pada Dies Natalis XXV ISI Yodyakarta, Sabtu, 30 Mei 2009, Oleh Prof Dr. Damardjati Supadjar.
[45] Damardjati Supadjar,Sumurupa Byar-e: Meyingkap Rahasia Awal Akhir Lahir Batin (Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila, 2010), hlm. 10.
[46] Supadjar, Sumurupa Byar-e, hlm. 43.

1 komentar :

  1. bisa kalih link utk beli buku karya Dr. Damardjati Supajar mas

    BalasHapus

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates